Menentukan Awal Ramadhan (1). Metode Rukyah



Pada tulisan sebelumnya kita sudah membahas bagaimana seharusnya kita yang awam ini bersikap dalam menentukan kapan kita puasa. Rame-rame puasa. Itulah konsep umumnya, dan semuanya itu kita serahkan dengan pemerintah setempat untuk bisa menentukan kapan kita akan ‘rame-rame’ puasa.

Ada ungkapan menarik yang dulu pernah dilontarkan oleh Ulama besar kita, beliau adalah salah satu Imam Mazhab, Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau pernah berpesan untuk kita semua dengan ungkapan: “Seseorang itu hendaknya berpuasa bersama penguasa dan jama’ah mayoritas ummay Islam, baik ketika cuaca cerah maupun mendung”. Pesan yang sangat bagus sekali, yang bisa menjadi pemertasatu ummat ini.

Namun tidak ada salahnya jika dalam tulisan kali ini kita akan sedikit mengintip cara mereka dalam menentukan kapan kita puasa dan kapan kita berlebaran.
Metode Ru’yat (Melihat Bulan)

Ini adalah metode yang disepakati oleh para Ulama’ dalam menentukan puasa dan lebaran. Konsep semacam ini sudah lebih dahulu dikenalkan oleh Rosul saw. 14 abad yag lalu yang sampai sekarang masih terus dipegang kuat oleh ummat ini.

Ru’yat artinya meliahat dengan mata, baik secara lansung maupun melaui abantuan alat tambahan berupa teropong. Dalam hal ini yang dilihat adalah hilal (bulan sabit).

Penentuan awal bulan (new moon) ditandai dengan munculnya penampakan bulan sabit pertama kali setelah bulan baru. Dimana pada waktu ini posisi hilal berada di ufuk barat.

Jika hilal tidak dapat terlihat pada hari ke-29 terutaa setelah matahari terbenam, maka jumlah hari pada bulan tersebut dibulatkan menjadi 30 hari. Tidak ada aturan khusus bulan-bulan mana saja yang memiliki 29 hari, dan mana yang memiliki 30 hari. Semuanya tergantung pada penampakan hilal.

Inilah pemaknaan hadits Rosul saw. berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
Berpuasalah kamu saat melihatnya (hilal) dan berifthar (lebaran) saat melihatnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka penetapan Ramadhan dapat kita ketahui dengan melihat hilal pada tangal 29 dari bulan sya’ban. Jika hilal sudah terlihat walaupun sangat kecil sekali, maka mulai malam itu kita sudah masuk bulan puasa, artinya mulai malam itu juga kita bisa melakukan sholat taraweh.

Namun, jika hilal belum terlihat, entah memang tidak muncul atau terhalang oleh kabut maka hitungan bulan sya’ban digenapkan menadi 30 hari. Karena yang menjadi standar itu adalah terlihatnya bulan oleh mata bukan dengan hitung-hitungan.
 
Inilah penjelasan hadits Rosul saw. berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُم فَاقْدُرُوا لَهُ
“Puasalah dengan melihat bulan dan berfithr (berlebaran) dengan melihat bulan, bila tidak nampak olehmu, maka kadarkanlah“.(HR. Bukhari dan Muslim)

Kata-kata “Faqrurulah” diatas dimaknai dengan menggenapkan hitungan sya’ban menjadi 30 hari, bukan berpindah ke cara hisab yag sering kta dengar akhir-akhir ini. Penjelasan itu di dapat melalui hadits berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَال بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ سَحَابَةٌ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الشَّهْرَ اسْتِقْبَالاً

Berpuasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu dengan melihatnya juga. Tetapi bila ada awan yang menghalangi, maka genapkanlah hitungan dan janganlah menyambut bulan baru. (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim)

Namun sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, sama-sama melihat hilal kok masih berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya?

Inilah yang harus sama-sama kita ketahui bersama, ternyata dalam metode ru’yat hilal itu juga punya dua cara yang keduanya sama-sama dibenarkan dalam syari’at kita, metode itu adalah:

1. Ru’yat Hilal dengan Konsep Wihdatu al-Matholi’

Wihdatu al-Matholi’ itu maksunya adalah kesamaan tempat muculnya bulan. Itu artinya jika di bumi ini sudah ada satu saja orang yang melihat bulan pada sore tanggal 29 sya’ban, maka semua ummat Islam disegala penjuru dunia harus megaminkan ini dan semuanya harus puasa.

Misalnya di Negara Saudi Arabiyah pada tanggal 29 sya’ban itu sudah terlihat hilal, maka kita yang di Indonesia ini juga harus mengikut hasil ru’yat itu dan kita semuanya, baik yang ada di Indonesia maupun yang tinggal di Negara-negara lainnya yang disana ada muslimnya, mereka semua wajib puasa esok harinya.
 
Inilah konsep wihdatu al-Matholi’ yang dipakai oleh Jumhur Ulama’. Mereka berdalil keumuman hadits berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
Berpuasalah kamu saat melihatnya (hilal) dan berifthar (lebaran) saat melihatnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Melihat Bulan dengan Konsep Ikhtilaf al-Matholi’

Konsep ini meyakini bahwa setiap tempat itu berbeda tempat muncul bulanny. Itu artinya bahwa jika disebagian tempat sudah terlihat hilal, maka tempat yang lainya tidak mesti mengikuti itu jika ditempat mereka belum terlihat.

Maka jika di Negara Saudi Arabiah menyatakan bahwa hilal sudah terlihat, maka orang Indonesia tidak mesti mengikut hasil ru’yat itu jika memang di Indonesia belum terlihat. Ini hasil dari pendapat akan adanya keberagaman tempat munculnya bulan (Ikhtilaf al-Matholi’).

Hal seperti ini berlandaskan pada ketrangan riwayat berikut:
Dari Kuraib radhiyallahuanhu bahwa Ummul Fadhl telah mengutusnya pergi ke Syam, Kuraib berkata,”Aku tiba di negeri Syam dan aku selesaikan tugasku, lalu datanglah hilal Ramadhan sementara aku di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan. Maka Abdullah bin Abbas bertanya padaku,” (Aku pun menceritakan tentang hilal di Syam). Ibnu Abbas ra bertanya,”Kapan kamu melihat hilal?”. “Aku melihatnya malam Jumat”, jawab Kuraib. Ibnu Abbas bertanya lagi,”Kamu melihatnya sendiri?”. “Ya, orang-orang juga melihatnya dan mereka pun berpuasa, bahkan Mu’awiyah pun berpuasa”, jawab Kuraib. Ibnu Abbas berkata,”Tetapi kami (di Madinah) melihat hilal malam Sabtu. Dan kami akan tetap berpuasa hingga 30 hari atau kami melihat hilal”. Kuraib bertanya,”Tidakkan cukup dengan ru’yah Mu’awiyah?”. Ibnu Abbas menjawab,”Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kami. (HR. Muslim).

Jadi walaupun sama-sama memakai metode ru’yat tetap saja memungkin sekali untuk terjadinya dua kemungkinan. Sama atau beda. Dan itu semua diberakan dalam fiqih.

Metoe hisab… Bersambung..

wallahu A’lam Bis Showab

Saiyid Mahadhir
“Puasa Dengan Ilmu”
Twitter: @SaiyidMahadhir
0857 187 325 86 (sms)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Junub Di Pagi Ramadhan, Apakah Sah Puasanya?

Hadits-Hadits Bermasalah Seputar Ramadhan. (Bag. 1)

Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Terjadi Di Bulan Ramadhan