Postingan

Menampilkan postingan dari 2012

Junub Di Pagi Ramadhan, Apakah Sah Puasanya?

Dari beberapa banyaknya alasan yang saya dapati ketika seorang muslim itu tidak berpuasa di bulan Ramadhan, salah satunya ialah “JUNUB” di pagi hari. Karena dia merasa bahwa syarat puasa itu harus suci dari hadats besar, akhirnya ini menjadikannya untuk tidak berpuasa pagi harinya. Padahal ini keliru. Orang yang bangun di pagi hari Ramadhan, entah apakah bangunnya itu sebelum waktu fajar atau setelah waktu fajar, dan ia dalam keadaan junub, berhadats besar, entah itu karena mimpi atau juga karena berhubungan suami-istri. Yang demikian ini tidak membatalkan kewajibannya untuk berpuasa berdasarkan Ijma’ (Konsensus) ulama sejagad raya ini. (An-Nawawi/Al-Majmu’ 6/308) Jadi “junub” bukanlah alasan untuk tidak berpuasa. Dan puasanya sah, tak perlu diganti di hari lain jika ia berpuasa dengan memulai pagi dalam keadaan JUNUB. Tentu ia harus mandi “besar” atau mandi wajib jika ingin melaksanakan sholat Shubuh, karena syarat sah sholat ialah suci dari hadats besar. Dan itu bukan syarat sah

Niat Puasa Ramadhan Harus Setiap Malam?

Niat itu urusan hati, bukan urusan lidah. Jika lidah saya menyebutkan “Sengaja aku sholat magrib” dalam versi bahasa arabnya, padahal waktu saya mengucapkannya dalam posisi saya sebagai guru, maka niat saya pada waktu mengajarkan kata-kata itu kepada murid, bukan berniat untuk sholat. Jadi niat itu perkara hati, dan menerjemahkan kalimat di dalam hati. Urusan niat memang menjadi pokok segala perkara, bahkan sebagian besar Ulama’ kita punya kebiasaan ketika memulai tulisan mereka dengan bab niat. Niat itu menjadi pembeda antara yang berpaha dengan yang basa-biasa saja. Jika setiap pagi kita mandi, mandinya itu biasa-basa saja, tapi jika mandinya kita itu diniatkan untuk menghilangkan hadats besar karena Allah swt. maka mandinya itu bernilai pahala. Puasa itu dibagi menjadi dua macam: Puasa wajib dan puasa sunnah. Untuk puasa wajib semisal puasa ramadhan, puasa nadzar, puasa bayar hutang dan puasa kafarat para ulama’ mensyaratkan tabyit an-niyyah (membermal ش mkan niat), maksud

Hadits-Hadits Bermasalah Seputar Ramadhan. (Bag. 3)

Hadits yang menyebutkan bahwa Ramadhan itu Awalnya Rahmat tengahnya adalah maghfirah (ampunan) dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka, adalah hadits yang amat populer. Terlebih menjelang dan selama berada di dalam bulan Ramadhan. Dengan hadits itu, para penceramah banyak mengajak orang-orang agar memanfaatkan bulan Ramadhan untuk khusyu’ beribadah, agar mendapatkan tiga hal tersebut. Yaitu rahmah dari Allah, ampunan-Nya serta pembebasan dari neraka. Sebenarnya hadits ini diriwayatkan tidak hanya lewat satu jalur saja, namun ada dua jalur. Sayangnya, menurut beliau, kedua jalur itu tetap saja bermasalah. Salah satu jalur periwayatan haditsi ini versinya demikian: أَوَّلُهُ رَحْمَة وَ أَوْسَطُهُ مَغْفِرَة وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ Bulan Ramadhan, awalnya rahmah, tengah-tengahnya maghfirah dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka. 1. Titik Masalah Hadits ini diriwayatkan oleh Al-’Uqaili dalam kitab khusus tentang hadits dha’if yang berjudul Adh-Dhu’afa’. Juga diriwayatka

Hadits-Hadits Bermasalah Seputar Ramadhan. (Bag. 2)

Gambar
Ungkapan tentang tidurnya orang berpuasa merupakan ibadah, memang sudah seringkali kita dengar, baik di pengajian atau pun di berbagai kesempatan. Dan paling sering kita dengar di bulan Ramadhan. Di antara lafadznya yang paling populer adalah : نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.” 1. Hadits Lemah Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437). Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696). Meski di dalam kandungan hadits ini ada beberapa hal yang sesuai dengan hadits-hadits yang shahih, seperti masalah dosa yang diampuni serta pahala yang dilipat-gandakan, namun khusus lafadz ini, para ulama sepakat mengatakan status kepalsuannya. Adalah Al-Imam Al-Baihaqi